Tantangan Perantau USA - Part 3

 CHICAGO

Chicago-Narita flight


Perjalanan Narita-Chicago adalah trip terpanjang yang pernah saya lalui sepanjang hidup. Menyebrangi Pasifik selama kurang lebih 11 jam, dengan seluruh kekhawatiran yang ada di dada, membuat saya tidak nyenyak tidur. Membayangkan beberapa bulan tanpa keluarga di tempat yang sangat baru membuat saya sangat takut. 


Lalu pikiranku banyak melayang ke para penjelajah dan penuntut ilmu di masa lampau. Bagaimana Ibnu Batuta, al-Qazwini, al-Faraj dan para penjelajah muslim abad keemasan lainnya bersikap jika mereka akan melaksanakan rihlah? Apakah mereka menjadi cengeng dan lemah mental ketika mereka berangkat? Tentu tidak! Keberanian, keyakinan, dan penyerahan diri penuh kepada Allah adalah sikap mental utama mereka. Dan itulah yang coba saya siapkan sekarang. Para pemberani ini adalah kunci bagaimana Islam menjadi disegani dan menjadi mercusuar ilmu pengetahuan di masa lampau. Hal ini yang sedikit kita punyai sekarang. Hidup kita sekarang sangat terdomestikasi (is that even a word?) sehingga kita tidak memiliki sikap mental untuk menjadi petualang, perantau serta penuntut ilmu yang tangguh. 

2 jam sebelum mendarat. Seperti masih tidak percaya bahwa saya ada tempat yang sangat jauh


"Keluarga, anak, istri adalah tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga, seperti semua laki-laki di dunia pada umumnya, apa yang membuatmu risau? Allah, Tuhanmu sudah pasti menjamin semua rezeki dan kesehatannya. Namun peranmu kepada ilmu pengetahuan dan menyebarluaskannya ke khalayak adalah tujuan hidupmu yang utama." Begitu kira-kira suara hati yang selalu bergema selama perjalanan. Dan hal itu sangat menguatkan. Yang jelas itu semua bukan dari saya, Allah-lah yang meniupkan kekuatan itu. Gelembung kelabu di diafragma sementara mengecil dan hampir menghilang. 


Pekerjaan sebagai penuntut ilmu harus akrab dengan perjalanan jauh. Fitrahnya adalah demikian. Kita lihat bahwa di setiap zaman, dimana ibukota pengetahuan berpindah-pindah mulai dari Babilonia, Athena, Madinah, Syam, Baghdad, Konstantinopel hingga era mulkan adlon seperti sekarang: Paris, Amsterdam, negeri-negeri Romawi, USA termasuk Boston, menjadi magnet bagi penuntut ilmu dari seluruh penjuru dunia. Dan para penuntut ilmu terbaiklah yang mampu menyesap ilmu pengetahuan langsung dari sumbernya. Banyak dari mereka yang jatuh cinta pada kota-kota tersebut dan tinggal menetap disana, namun tidak sedikit yang pulang ke negeri asalnya untuk menerapkan, menyebarkan dan mengadaptasikan ilmu yang mereka dapat untuk kebaikan negerinya.


Sebagai hamba Allah yang mengabdikan diri saya untuk beribadah, saya meniatkan semua pendidikan yang saya tempuh dan ilmu yang saya dapat dari USA untuk ibadah. Bahwa nantinya jika saya pulang kembali ke Surabaya dan menjadi guru bagi banyak murid-murid yang haus ilmu kelak, adalah semua semata-mata untuk mendapatkan ridhoNya. Dengan begitu, semua keraguan dan ketakutan yang saya miliki sekarang lambat-laun menghilang. Saya kuat dengan izinNya. 


CHICAGO O'HARE AIRPORT,1 SEPTEMBER 2021, 12.30 ET

Transfer ke penerbangan lokal Chicago-Boston

Setelah menempuh 11 jam perjalanan, saya akhirnya sampai di Chicago O'Hare Airport. Bulan September adalah waktu terbaik menurut saya sebagai warga manusia tropis untuk sampai di negara dengan 4 musim. Suhu 23 derajat Celcius, sangat nyaman untuk saya. Sejujurnya saya tidak banyak merasakan perubahan signifikan di bandara manapun kecuali ras mayoritas yang ada disana dan bahasa yang digunakan. Bandara modern sekarang adalah representasi dari teknologi barat yang seragam di seluruh dunia, jadi di poin ini saya masih belum banyak merasakan beda budaya di Indonesia, Jepang, Dubai, maupun Amerika. 

Namun setelah masuk ke pesawat, saya baru bisa merasakan banyak perbedaan. Lagi-lagi ekspektasi bahwa Amerika adalah negara yang sangat maju menjadi pertanyaan. American Airlines, maskapai tersibuk di Amerika, penerbangan lokalnya kalah jauh dengan penerbangan lokal Surabaya-Jakarta. Tidak perlu kita bandingkan dengan Garuda, dengan maskapai tier dibawahnya-pun kita patut bangga dengan pelayanan pesawat kita. Leg space yang sempit, pesawat yang mambu apek khas bis damri 90an, dan cushion kursi yang buluk menjadi pengalaman yang sangat membuat dahi berkerut. Namun, tidak bisa dijadikan patokan juga sih, karena saya baru mengalami penerbangan domestik sekali ini dengan maskapai asing, mungkin Dear Readers yang punya jam terbang lebih banyak, bisa memberikan sanggahan. 


BOSTON LOGAN AIRPORT, 1 SEPTEMBER 2021, 15.30 ET

Boston here I come, Bismillahi Rahmani Rahim. Saya mendarat di Boston 15.30 ET, dengan optimisme yang sangat meluap. Lalu optimisme itu tiba-tiba mengering. Mendadak lutut menjadi lemas, takut, dan khawatir lagi. Memikirkan istri dan anak yang sedang terlelap di seberang belahan bumi sana, 03.30 WIB, membuat hati saya gusar. Allah, tolong. 

Saya dijemput oleh roommate yang sangat baik hati, asal Azerbaijan, Eyvaz Alasgirli namanya. Jasamu sangat besar kawan, saya harap kamu membaca tulisan ini walaupun dalam bahasa yang tidak kamu mengerti. Pertolongan Allah datang sekonyong-konyong. Boston, kota besar dengan segala macam ras yang ada di dunia berkumpul di dalamnya, Allah masih mempertemukan saya dengan orang-orang yang baik seperti Eyvaz. 


 

Boston Shawarma adalah tempat yang pertama kali kita tuju. Seporsi 12-dollar dengan ukuran yang super jumbo untuk 3x makan dan mereka disini dapat menghabiskannya dalam sekali duduk. Sangat luar biasa! Di Indonesia, makanan dengan porsi ini bisa dipakai untuk makan sekeluarga. Eyvaz mengenalkanku dengan tempat-tempat yang menarik di Boston, walaupun malam hari dan hujan, kota Boston adalah kota yang sangat tua dan banyak sekali bangunan-bangunan besar bersejarah disana. Lain kali saya kan membuat tulisan-tulisan tentang tempat menarik di Boston. 

Boston Shawarma

MALAM PERTAMA DI BOSTON

Perbedaan waktu 12 jam. Mereka baru berkegiatan, saya sudah akan tidur. Video call pertama bersama Istri, kami menangis berdua. Gelembung abu-abu itu akhirnya pecah. Membawa sesak dan sedih di dalam hati. Kamar sewaan yang sempit ini semakin sempit dengan mendengar tangisnya. 16000 km berpisah, dan 6 bulan lagi harus ditempuh. Mata istriku sembab, suaranya bergetar, maklum ini adalah perpisahan pertama kami selama bertahun-tahun bersama. 

Namun lagi-lagi banyak hal yang harus disyukuri dan diambil pelajaran. Bukankah itu semua tujuan dari ujian? Agar kita semakin mendekat kepadaNya? Setiap keluarga memiliki ujiannya masing-masing. Dan setiap keluarga juga diuji dengan kadar kekuatannya masing-masing. Sehingga kami yakin kami mampu melampaui ujian ini dan mendapatkan ridhoNya. Itulah yang Ibuku sampaikan ketika pertama kali video call dengan beliau. 

"Nikmatilah setiap momen belajarmu di negeri yang jauh, senyampang masih ada kesempatan yang diberikan oleh Allah. Kita tidak tahu kapan lagi akan diberi kesempatan untuk pergi jauh dan menjelajah benua lain kalau bukan sekarang." Begitulah pesan Ibuku kira-kira.  

Malam pertama di Boston sangat dingin dan sedih. Tapi juga diiringi dengan doa, semangat, optimisme demi masa depan yang cerah. Disini saya akan menempa diri, agar kelak pulang menjadi poros ilmu yang berguna untuk masa depan Islam di Asia Tenggara dan dunia, lewat ilmu-ilmu kauniyah yang saya pelajari sekarang. Insya Allah lancar aamiin.  

Comments

Popular Posts