Tantangan Perantau USA - Part 1

Dear Readers, 

Tidak terasa sudah satu semester saya berada di Boston, USA untuk menempuh pendidikan S3. Susah senangnya, akan saya bahas di tulisan lain. Saat ini saya ceritakan bagaimana rasanya berpisah dengan keluarga untuk merantau ke negeri yang jauh. Jika banyak Dear Readers yang akan merantau jauh, atau sudah merasakannya, mari kita berbagi cerita dan petik banyak pelajaran yang akan saya bagikan di tulisan kali ini.  


Berpisah dengan keluarga adalah hal yang paling menyesakkan. Hal ini pasti diamini oleh para perantau yang membaca tulisan ini. Saya pernah merantau ke beberapa kota di Indonesia, dan bepergian ke luar negeri namun tidak pernah sejauh dan se-lama ini. Setidaknya 5 tahun saya harus berpisah dengan keluarga besar, dan sampai saya publikasi tulisan ini, anak istri saya masih belum menyusul ke Boston. 


Saya berangkat dari Jakarta tanggal 1 September 2021. Sebelum itu saya ingin menghabiskan waktu-waktu bahagia bersama istri sehingga berangkat dari Surabaya tanggal 29 Agustus 2021. Waktu itu proses perjalanan sangat membencikan, banyak sekali dokumen yang harus disiapkan. Hidung dicolok sana-sini oleh tes PCR. 


SURABAYA, H-7 keberangkatan


Pekerjaan tidak pernah berhenti. Kesibukan sebagai dosen dan engineer sangat menyita waktu saya. Namun saya ingin sekali menghabiskan waktu-waktu bersama keluarga dengan sebaik-baiknya. Berpamitan ke seluruh keluarga besar dan mengunjungi sanak saudara adalah agenda utama. Namun satu hal yang paling berat: berpisah dengan istri dan anak. Satu hal yang paling saya nikmati selama masa pandemi adalah waktu yang sangat melimpah bersama istri dan anak. Selama 2 tahun hidupnya di dunia, jarang sekali kami meninggalkannya. Kami menghabiskan banyak waktu bermain bersama, dan membayangkan berpisah selama beberapa bulan saja sudah membuat saya tercekat dan tidak bisa berkata-kata. Pernikahan kami mungkin baru berjalan 3 tahun, namun saya menghabiskan setidaknya 10 tahun berjuang bersama istri. Berpisah dengannya adalah ujian yang sangat berat. Terutama semenjak rezeki Allah berupa anak yang sangat shalih ini, perpisahan terasa sangat berat. 


Berpisah dengan Ibu juga sangat berat. Walaupun keberangkatan saya ke Boston mungkin 90% karena doa Ibu, dan beliau sudah menguatkan saya jauh-jauh hari, berpisah dengannya adalah kesulitan yang sangat nyata. Ibu adalah segalanya untukku, kami berdua adalah motor yang mengambil hampir semua keputusan di keluarga. Saya sudah meninggalkan rumah sejak 12 tahun yang lalu, namun komunikasi kami sangat baik dan pulang adalah saat-saat yang sangat membahagiakan. Dengan frekuensi pulang yang cukup sering (setidaknya sebulan satu-dua kali), sangat sedih rasanya membayangkan tidak bisa pulang selama 4-5 tahun. 


Saya sangat beruntung memiliki Papa dan Mama Mertua yang sangat suportif kepada kami. Mereka menyayangi saya seperti anaknya sendiri, dan selalu mendukung semua keputusan saya. Sebelum berangkat, Papa dan Mama Mertua banyak memberikan pesan agar selalu ingat Shalat, rendah hati, jaga emosi dan kurangi kesembronoan selama ini yang saya lakukan selama di rumah. Berpisah dengan mereka, terutama setelah 3 tahun ini menyayangi saya seperti yang mereka lakukan, membuat saya sangat sedih. Saya ingat pesan Papa Mertua 2 minggu sebelum saya berangkat, "Ingat bahwa jika Papa meninggal, kamu jangan bingung, fokus ke sekolahmu dan doakan saja Papa dari sana". Seperti sudah memiliki firasat, benar saja, 2 minggu setelah saya di Boston, Papa menghembuskan nafas terakhirnya. Alfatihah untuk Papa. 


Intinya, saya adalah orang yang sangat berorientasi kepada keluarga. Saya tidak memiliki banyak teman namun sangat dekat dengan semua keluarga, karena menurut saya hubungan dengan keluarga adalah yang terpenting. Mereka adalah darahmu, DNA mu, dan yang paling pertama melindungimu saat susah. Berpisah dengan mereka, di dunia yang sangat baru, dan dengan kemampuan berteman yang sangat buruk, membuat saya sangat sedih/takut untuk berpisah. 

Tapi hidup harus tetap berjalan, tidak ada waktu untuk bersedih, berpisah dan merantau adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencari pengalaman hidup. Kesempatan ini hanya bisa dinikmati oleh 1 orang dari 2000 orang di Indonesia. Jadi, mengapa harus bersusah hati?  


JAKARTA

Pernikahan kami masih sangat muda, walaupun saya sudah kenal dan mencintai istri saya sejak 2004 (kelas 5 SD), namun perpisahan keluarga adalah hal yang paling berat. Kami ingin menghabiskan waktu yang cukup sebelum berpisah setidaknya selama 4 bulan. Perpisahan yang sebentar bagi sebagian orang, namun sangat menyiksa bagi kami. Hobi kami adalah makan. Dan berpisah dengan makanan masakan Istri, dan makanan Indonesia pada umumnya, lagi-lagi adalah ujian yang sangat berat. 


Semua kuliner Jakarta: Nasi goreng kambing, KFC Signature (karena akan sangat susah cari KFC Halal di Boston), martabak, dan banyak lagi makanan kami jajali. Menikmati momen berdua, tanpa keterburu-buruan pekerjaan, adalah hal yang sangat jarang kami alami dua tahun belakangan. Semakin dekat dengan keberangkatan, Istri semakin mellow, dan saya berusaha tampil kuat di hadapannya. Pantang bagi saya untuk menampilkan ke-mellow-an di depan istri. Lanang kudu kuat cuk! 


2 hari kami habiskan di Jakarta, malam hari sebelum keberangkatan, ada gelembung abu-abu yang muncul di diafragma. Seperti gelembung sabun berisi kesedihan yang siap meletus sewaktu-waktu. Jangan! Perintahku dalam hati. 


Makan malam bersama, 31 Agustus, adalah di Restoran Paradise Dynasty. Ini restoran, sebenarnya ada di Surabaya, namun untuk lewat di depannya saja kami takut, karena harganya yang mahal luar biasa. Namun di hari itu kami masuk melenggang tanpa mempedulikan harga sama sekali. Bahkan andaikata bebek goreng cabang purnama seporsi dengan harga 500 ribu pun kami akan duduk disana dan pesan dua porsi. Ya Rabbi, dengan ini kami mengerti bahwa uang itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan waktu bersama orang yang dicintai. Dear Readers, jika kalian punya waktu yang melimpah bersama keluarga maka Demi Allah, manfaatkan waktu itu semaksimal mungkin!


Panggilan check in bergema. Mata Istriku sudah berkaca-kaca. Gelembung abu-abu ini semakin lama semakin membesar, seperti membuat sesak diafragmaku. Lorong menuju keberangkatan terasa seperti jalan yang sangat menakutkan. Kemana semangat, dan kemenggebu-gebuanku yang selama ini sangat menyala untuk bisa sekolah S3 ke Amerika? Bukankah ini adalah impian masa kecilku? Bukankah ini adalah doa Ibuku? Bukankah ini adalah harapan dan kebanggaan dari semua keluargaku? 

Pesawat Jakarta-Tokyo, Sebelum Keberangkatan


Pelukan Istriku sangat berat, matanya merah berkaca-kaca, dia adalah sosok yang sangat kuat dan independen, namun terasa sangat lemah ketika berpisah denganku. 31 Agustus 2021, 21.00 WIB, saya masuk ke lorong keberangkatan Terminal 3 Soekarno Hatta. Menuju kehidupan yang tidak tahu bagaimana nantinya. Tapi saya percaya. Allah selalu memberi petunjukNya, dan Allah selalu memberi ujian bagi hambaNya yang kuat menghadapi ujian tersebut. Maka Saya yakin bahwa kami kuat. 

Comments

Post a Comment

Popular Posts